Karena sesuatu dan lain hal, blog kami yang awalnya bernama sabangiskandar.blogspot.com diganti menjadi aksiputer.blogspot.com

25 Maret 2008

Penilaian Kinerja Keuangan: Analisis Berdasarkan Economic Added Value

Penilaian Kinerja Keuangan: Analisis Berdasarkan Economic Added Value (EVA)

Oleh Nasir

Abstract:

The purpose of the study is to explain the concept of Economic Value Added (EVA) as a method of performance measuring. Also, The paper discuss whether EVA is a superior performance measure both for corporate reporting and for internal governance. To use in application, some tools are used such as Net Operating Profit After Tax/NOPAT, Cost of Capital, Cost of Debt, Cost of Preferred Stock, Cost of Equity, Weighted Average Cost of Capital/WACC. There are three standards of EVA analysis. If EVA > 1: very health performance; EVA = 0 : health performance, and if EVA <>the wealth of the shareholder, which is synonymous with the maximization of the firm value.

Keywords: Performance, EVA, shareholder

I. Pendahuluan

Dalam lingkungan persaingan yang semakin ketat, proses pengambilan keputusan manajemen perlu didukung dengan sistem kenerja integratif, di mana secara internal konsisten dengan visi, misi, dan strategi perusahaan yang disertai dengan umpan balik (feedback) yang semakin cepat, serempak dan simultan (Sony Yuhono dkk, 2006: 27). Sistem kinerja integratif akan menilai prestasi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya dalam semua aspek, khususnya terkait dengan aspek keuangan.

Selanjutnya, Sony Waluyo dkk (2006: 23) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai suatu tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas perusahaan yang digunakan sebagai umpan balik (feedback) yang akan memberikan informasi tentang pelaksanaan suatu rencana. Penilain kinerja ini dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholders), misalnya investor, kreditur, karyawan, pemerintah dan pihak manajemen.

Untuk mengukur kinerja dan kondisi perusahaan saat ini serta prospek perusahaan di masa yang akan datang, maka kreditor dan investor sebagai pihak yang berkepentingan dapat menganalisisnya melalui laporan keuangan emiten yang sudah dipublikasikan di Pasar Modal. Publikasi laporan keuangan di Pasar Modal pada umumnya menggunakan indikator seperti Return On Equity (ROE), Earning PerShare (EPS), Price Earning Ratio (PER) dan Return On Invesment (ROI) perusahaan.

Menurut Sony Yuhono dkk. (2006: 26), ROI termasuk yang paling banyak digunakan sebagai alat untuk menilai kinerja keuangan karena keunggulan-keunggulannya, seperti:

a. ROI merupakan tolok ukur tunggal yang komprehensif yang dapat menunjukkan trade-off antara pendapatan, biaya, dan investasi;

b. ROI dapat digunakan untuk membandingkan kinerja dari berbagai sektor bisnis, baik pesaing, divisi, maupun dalam industri;

c. Hasil perhitungan ROI dapat dibangdingkan dengan tolok ukur keuangan lainnya.

Dalam perkembangannya, penilaian kinerja dengan menggunakan ROI juga mengalami beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu:

a. Dasar perhitungan yang digunakan adalah laba Akuntansi yang lebih bersifat earning management, dimana manajer dapat mempengaruhi ROI untuk kepentingan jangka pendek dan merugikan perusahaan dalam jangka panjang;

b. Keputusan investasi yang berdasarkan ROI mempunyai kecenderungan suboptimalisasi keputusan, yaitu manajer lebih mempertimbangkan keuntungan divisinya dengan mengorbangkan kepentingan perusahaan secara keseluruhan;

c. Hasil perhitungan ROI bersifat bias karena faktor kesulitan dalam menghitung nilai investasi sebagai dominator ROI.

Penilaian kinerja keuangan yang lain adalah analisa rasio (ratio analysis) yang telah banyak digunakan dalam perusahaan. Fokus utama analisis tersebut adalah membandingkan pos-pos dalam laporan keuangan, misalnya pos-pos neraca dan pos-pos laporan rugi-laba. Namun, penilaian kinerja perusahaan dengan menggunakan analisis rasio keuangan tersebut ternyata tidak selalu dapat menghasilkan suatu penilaian kinerja yang optimal.

Kendala-kendala utama analisis rasio keuangan yaitu penggunaan data perusahaan lain yang sejenis sebagai pembanding dapat mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran, karena adanya perbedaan product lines maupun kekhususan produk dan perbedaan dalam penerapan metode akuntansi.

Secara umum, kelemahan dari rasio tersebut adalah mengabaikan adanya biaya modal (Cost of Capital), sehingga sulit untuk mengetahui apakah suatu perusahaan telah mcnciptakan nilai atau tidak. Biaya modal menunjukkan bahwa kompensasi atau pengembalian yang dituntut oleh investor atas modal yang ditanamkan dalam suatu perusahaan.

Dengan melihat adanya keterbatasan-keterbatasan analisis ROI dan rasio keuangan yang selama ini banyak digunakan, maka pada tahun 1991 lembaga konsultan Stern Stewart & Co. mengembangkan dan mempopulerkan Economic Value Added (EVA) yang merupakan cara untuk mengukur profitabilitas operasi yang sesungguhnya karena telah memperhitungkan biaya modal (Cost of Capital). Lebih jauh DeMello (2006:131) mengatakan bahwa EVA merupakan ukuran kinerja keuangan yang lebih mampu menangkap laba ekonomis perusahaan yang sebenarnya dibandingkan metode-metode lain.

Eva melakukan perbaikan terhadap ROI dengan mencoba mengoreksi laba operasi setelah pajak dengan menambahkan cadangan-cadangan ekuitas ekuaivalen, seperti cadangan piutang tak tertagih, amortisasi kumulatif goodwill, dan aktiva yang dikapitalisir ke modal serta menambahkan beban periodik dari cadangan-cadangan tersebut ke laba operasi setelah pajak (Sony Waluyo dkk., 2006: 27).

2. Sistem Pengukuran Kinerja

Perkembangan bisnis saat ini memfokuskan pada pelanggan (custumer-focused). Hal ini berarti segala aktivitas perusahaan diorientasikan bagaimana memuaskan pelanggan. Oleh karena itu, keefektifan suatu sistem pengukuran sangat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan.

Sistem pengukuran kinerja yang efektif memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

a. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri;

b. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang efektif;

c. Memberikan umpan balik (feedback) untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenai masalah-masalah yang kemungkinan perbaikan.

Secara umum, penilaian kinerja dengan tolok ukur keuangan telah membantu pihak manajemen untuk mengetahui sejauh mana tujuan perusahaan telah tercapai, menilai presatsi bisnis secara kuantitatif serta memprediksi harapan-harapan perusahaan di masa datang. Namun demikian, Menurut Sony Waluyo dkk. (2006:29), penggunaan tolok ukur keuangan sebagai satu-satunya pengukur kinerja perusahaan memiliki banyak kelemahan, antara lain:

a. Pemakaian kinerja keuangan sebagai satu-satunya penentu kinerja perusahaan dapat mendorong manajer untuk mengambil tindakan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.

b. Secara umum, mengabaikan aspek pengukuran non-financial dan intangible asset baik sumber internal maupun eksternal. Akibatnya, akan memberikan pandangan yang keliru bagi manajer mengenai perusahaan di masa sekarang dan di masa datang.

c. Kinerja keuangan hanya memfokuskan pada kinerja masa lalu, sehingga kurang mampu membantu perusahaan dalam mencapai tujuannya.

3. Pengertiaan EVA

Konsep Economic Value Added (EVA) pertama kali dikembangkan oleh G. Rennet Stewart dan Joel M. Stern, analis keuangan dari New York pada tahun 1991. Stewart dan Stern ( 1991: 118) mendefinisikan EVA sebagai berikut:

"EVA is residual income measure that substact the cost of capital from the operating profits generated in the business, it's a measure to account properly for all of the way in which corporate value may be added or lost. EVA will increase if operating profits can be made to grow without tying up any more capital. If new capital is invested any and all projects that earn more than the full cost of capital, and if capital is diverted or liquidated from business activities, that do not covers their cost of capitl'.

Definisi tersebut memberikan pandangan bahwa ukuran pandapatan sisa atau sisa laba yang diperoleh dengan mengurangkan biaya ekuitas dari laba operasi yang dihasilkan oleh perusahaan. Selanjutnya, EVA akan meningkat jika laba operasi dapat bertambah tanpa mengikat ekuitas lebih banyak, jika ekuitas baru diinvestasikan dalam salah satu atau keseluruhan proyek yang menghasilkan pendapatan yang lebih besar daripada seluruh biaya modal.

Penerapan EVA akan menjadi ukuran kinerja yang secara langsung berhubungan dengan kekayaan pemegang saham dari waktu ke waktu (DeMello, 2006: 131). Ini berarti, kinerja keuangan berbasis EVA akan membantu perusahaan yang menjadi kliennya mengambil keputusan yang akan menciptakan kekayaan pemegang saham paling besar.

Selanjutnya, analis keuangan lainnya menjelaskan bahwa

EVA is the most misunderstood term among the practitioners of corporate finance. The proponents of EVA are presenting it as the wonder drug of the millennium in overcoming all corporate ills at one stroke and ultimately help in increasing the wealth of the shareholder, which is synonymous with the maximization of the firm value. The attractiveness of the EVA lies in its use of cash flow and cost of capital that are determinant of the value of the firm (Bhattacharyya, A.K. & B.V.Phani1, 2007:5).

Definisi tersebut menguraikan bahwa EVA merupakan alat ukur kinerja yang akan mengobati ‘sakit’ suatu perusahaan, sehingga membantu memaksimalkan nilai perusahaan.

Sedangkan pengertian EVA menurut Amin Widjaya Tunggal (2001: 1),EVA adalah ”suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan, yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi (operation cost) dan biaya modal (Cost of Capital)".

Daft, R.L. (2006:549) menambahkan bahwa EVA adalah cara baru untuk mengukur kinerja keuangan yang dapat didefinisikan sebagai laba operasi bersih (setelah pajak) dikurangi biaya modal yang diinvestasikan dalam aktiva nyata/actual. Mengukur kinerja yang berkenaan dengan EVA dimaksudkan untuk mencatat semua hal yang dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan guna menambah nilai dari aktivitasnya, seperti menjalankan bisnis lebih efisien, memuaskan para pelanggan, dan memberi penghargaan untuk pemegang saham. Setiap pekerjaan, departemen, atau proses dalam organisasi diukur dengan nilai tambah.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa EVA merupakan keuntungan

operasional setelah pajak dikurangi dengan biaya modal, atau dengan kata lain EVA

merupakan pengukuran pendapatan sisa (Residual Income), yang mengurangkan biaya modal terhadap laba operasi. Jadi EVA ditentukan oleh dua hal yaitu keuntungan operasional bersih setelah pajak dan tingkat biaya modal. Laba operasi setelah pajak menggambarkan hasil penciptaan nilai di dalam perusahaan, sedangkan biaya modal dapat diartikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan dalam penciptaan nilai tersebut. Diperhitungkannya tingkat biaya modal atas ekuitas merupakan keunggulan pendekatan EVA, dibandingkan dengan pendekatan akuntansi lain dalam mengukur kinerja perusahaan.

4. Keuntungan Penggunaan EVA

Brealey and Myers (2000:327-328) berpendapat bahwa " A growing number of firms now calculate EVA and tie management compensation to it. They believe that a focus on EVA can help managers concentrate on increasing shareholder wealth and EVA makes cost of capital visible to operating managers".

Menurut Damodaran (2007:46) terdapat beberapa keuntungan konsep EVA:

“a. EVA is closely related to NPV. It is closest in spirit to corporate finance theory

that argues that the value of the firm will increase if you take positive NPV projects.

b. It avoids the problems associates with approaches that focus on percentage spreads - between ROE and Cost of Equity and ROC and Cost of Capital. These approaches may lead firms with high ROE to turn away good projects to avoid lowering their percentage spreads.

c. It makes top managers responsible for a measure that they have more control over - the return on capital and the cost of capital are affected by their decisions - rather than one that they feel they cannot control as well - the market price per share.

d. It is influenced by all of the decisions that managers have to make within a firm – the investment decisions and dividend decisions affect the return on capital and the financing decision affects the WACC.

Menurut DeMello (2006: 132) keuntungan-keuntungan penggunaan EVA meliputi:

a. Cara pemegang saham menghitung laba. Dengan memperhitungkan seluruh biaya modal, EVA menunjukkan jumlah kekayaan berupa uang yang diciptakan oleh perusahaan dalam setiap pelaporan. Dengan kata lain, EVA merupakan cara pemegang saham menentukan laba. Misalkan, pemegang saham berharap imbal hasil atas investasi mereka sebesar 10%, angka ini dicapai jika laba operasi setelah pajak lebih besar 10%.

b. Menyelaraskan keputusan dengan kekayaan pemegang saham. Peningkatan EVA secara terus-menerus akan membawa peningkatan nilai pasar bagi perusahaan. Kinerja saat ini sudah tercermin dalam harga saham yang memberikan peningkatan pada kekayaan pemegang saham.

c. Konsep EVA mudah dipahami oleh manajer. Secara konseptual cukup sederhana, konsep EVA mudah dijelaskan kepada manajer yang tidak memiliki latar belakang keuangan karena EVA mudah dihitung

d. Mengurangi kebingungan akan banyaknya tujuan. EVA menghilangkan kebingungan dengan menggunakan ukuran keuangan tunggal yang menghubungkan seluruh pengambil keputusan (decision maker) dengan fokus bagaimana meningkatkan EVA karena EVA merupakan suatu sistem manajemen keuangan yang menghasilkan presepsi yang sama bagi karyawan di seluruh fungsi operasi.

Meskipun metode EVA telah memberikan banyak kegunaan dalam pengambilan keputusan, EVA juga memiliki beberapa kelemahan-kelemahan, misalnya EVA hanya menggambarkan penciptaan untuk suatu tahun tertentu. Sementara, nilai perusahaan adalah akumulasi EVA selama umur perusahaan.

5. Mekanisme Penilaian Kinerja dengan EVA

a. Laba Usaha Setelah Pajak (Net Operating Profit After Tax/NOP A T)

David and O'Byrne (2001:39), berpendapat bahwa "NOPAT merupakan laba operasi perusahaan setelah pajak, dan mengukur laba yang diperoleh perusahaan dari operasi berjalan".

NOPAT menurut Stewart dan Stern (1991: 85)," Is the profit derived from the company's operation after taxes but before financing costs and no-cash­ bookkeeping entries. As such, NOP AT also is the total pool of profit available to provide a cash return to all financial providers of capital to the firm".

Sedangkan menurut Amin Widjaya Tunggal (2001: 5), 'NOPAT adalah laba yang diperoleh dari operasi perusahaan setelah dikurangi pajak penghasilan, tetapi termasuk biaya keuangan (financial cost) dan " non cash book keeping entries" seperti biaya penyusutan"

Secara umum, NOPAT dapat dihitung sebagai berikut:

NOPAT = [Operating Income + Interest Income + Equity Income (income from subsidiary/affiliated companies + Other Income (Investment)] - [Other Loss - Income Taxes - Tax Shield on Interest Expense]

b. Biaya Modal (Cost of Capital)

Biaya modal (Cost of Capital) merupakan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh penyedia dana sebagai imbalan atas dana yang ditanamkan pada suatu perusahaan dan melepaskan kesempatan untuk menanamkan dananya pada perusahaan lain.

Biaya modal (Cost of Capital) adalah biaya riel yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana baik yang berasal dari hutang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi atau operasi perusahaan (Martono dan Agus Harjito, 2003: 201)

Sedangkan menurut David and O'Byrne (2001: 5I) "Biaya modal sama dengan modal yang diinvestasikan perusahaan dikalikan rata-rata tertimbang dari biaya modal (WACC)".

Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Cost of Capital digunakan sebagai ukuran untuk menentukan diterima atau ditolaknya suatu usulan investasi. Untuk memperoleh Cost of Capital yang perlu dihitung adalah biaya dari masing-masing sumber dana dan biaya modal rata-rata dari keseluruhan dana yang digunakan dengan menghitung besarnya WACC.

1) Biaya Modal Individual

Biaya modal individual adalah biaya modal yang dihitung berdasarkan biaya untuk masing-masing sumber dana. Biaya modal individual tersebut dihitung satu per satu untuk tiap jenis modal. Biaya modal individual ini digunakan untuk menghitung biaya modal rata-ratanya (WACC).

Biaya Hutang (Cost of Debt)

Komponen biaya modal utang adalah tingkat bunga yang harus dibayarkan oleh perusahaan terhadap modal pinjaman yang dilakukan perusahaan. Utang terdiri atas utang jangka panjang dan utang jangka pendek, dimana keduanya memiliki biaya modal sendiri. Komponen biaya modal utang juga memasukkan perhitungan tingkat pajak perusahaan, karena bunga bisa digunakan sebagai pengurang biaya pajak (tax deductab/e expense). Sehingga perhitungan biaya modal utang didasarkan atas perhitungan sesudah pajak. Dengan demikian komponen biaya modal utang adalah perkalian antara bunga yang harus dibayar oleh perusahaan dengan faktor koreksi (1­-t), dimana t adalah tingkat pajak perusahaan.

Berdasarkan pemyataan diatas, maka biaya utang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kd= kd (l-T)


Dimana:

Kd : biaya utang setelah pajak

Kd:

T : Tarifpajak

Biaya Saham Preferen (Cost of Preferred Stock)

Biaya tertentu dari saham preferen lazimnya lebih tinggi dibanding biaya utang dengan penilaian kualitas yang sama. Karena status saham preferen yang mendekati ekuitas, deviden preferen tidak bebas pajak bagi perusahaan yang mengeluarkan dan itu merupakan arus keluar dana setelah pajak (Helfert, 1993: 194). Pemegang saham preferen mendapat hak istimewa karena dalam hal likuidasi, pemegang saham ini lebih dulu mendapatkan pembagian kekayaan dari pada pemegang saham biasa. Biaya saham preferen dapat di rumuskan sebagai berikut:

Dimana:

Kp : biaya saham preferen

Dp : dividen saham preferen tahunan

Pn : harga saham preferen

Biaya ekuitas (Cost of Equity)

Biaya ekuitas (Cost of Equity) adalah tingkat pengembalian yang diperlukan pemegang saham atas saham biasa perusahaan. Pemegang saham biasa merupakan pemilik tersisa dari perusahaan dimana klaim saham biasa berlaku untuk semua aktiva dan laba yang dituntut oleh klaim sebelumnya. Untuk mengukur biaya ekuitas saham biasa dapat dilakukan melalui pendekatan deviden. Pendekatan deviden merupakan model pembiayaan ekuitas internal karena memperhitungkan biaya dana internal. Berdasarkan pendekatan deviden, maka biaya ekuitas saham biasa dapat dihitung dengan rumus:

Dimana:

Dj : dividen akhir periode

Po : harga pasar saham

g : tingkat pertumbuhan dividen

Untuk menghitung besarnya tingkat pertumbuhan dividen (g), Suad Husnan (2000: 74-75) merumuskan sebagai berikut:

g = (I-Dividend Payout) x ROE


2) Biaya Modal Rata-rata Tertimbang (Weighted Average Cost of

Capital/WACC)

David and O'Byrne (2001: 39 & 149), berpendapat bahwa WACC sama dengan jumlah biaya dari setiap komponen modal­ utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan ekuitas pemegang saham-ditimbang berdasarkan proporsi relatifnya dalam struktur modal perusahaan pada nilai pasar.

Sehingga W ACC dihitung sebagai berikut:

WACC: ki+ ke

Dimana pembiayaan total sama dengan jumlah utang dan pembiayaan ekuitas, ki adalah biaya utang dan ke adalah biaya ekuitas. Lukas Setia Atmajaya (2002: 121) mengemukakan bahwa WACC dapat dihitung dengan rumus yang lebih terinci yaitu:

WACC = WdKd(1-T) + WpKp + Ws(Ks atau Ke)

Dimana:

WACC: Biaya modal rata-rata tertimbang

Wd : persentase hutang dari modal

Wp : pcrsentase saham preferen dari modal

Ws : pcrsentase saham biasa atau laba ditahan dari modal

Kd : biaya hutang

Kp : biaya saham preferen

Ks : biaya laba ditahan

Ke : biaya saham biasa baru

T : tarif pajak

Wd, Wp Ws didasarkan pada sasaran struktur modal (capital structure) perusahaan yang dihitung dengan nilai pasar (Market value )-nya. Setiap perusahaan harus memiliki struktur modal yang dapat meminumkan biaya modal sehingga dapat memaksimumkan harga saham.

C. Modal yang Diinvestasikan

Untuk dapat menghitung total biaya modal, kita perIu mengetahui modal yang diinvestasikan perusahaan. Modal yang diinvestasikan adalah seluruh pinjaman perusahaan diluar pinjaman jangka pendek yang tidak menanggung bunga. Modal yang diinvestasikan sama dengan jumlah dari aktiva perusahaan yang dalam perolehannya, perusahaan harus mengeluarkan biaya.

David and O'Byrne (2001:50), berpendapat bahwa "Pendekatan yang digunakan untuk menghitung modal yang diinvestasikan adalah pendekatan keuangan (financial Approach), yaitu menjumlahkan perbedaan bentuk pembiayaan (utang jangka pendek, utang jangka panjang, kewajiban jangka panjang lainnya, dan ekuitas pemegang saham)". Invested capital adalah jumlah seluruh pinjaman perusahaan di luar pinjaman jangka pcndek tanpa bunga (non-interest bearing liabilities), seperti hutang dagang, biaya yang masih harus dibayar, hutang pajak, uang muka pelanggan.

Invested capital dapat dihitung dengan dua cara, yaitu:

§ Pendekatan Operasi (operating approach)

Invested capital = Kas + Working capital requirement + Aktiva tetap

Dimana,

Working (capital requirement = (persediaan + piutang dagang + aktiva lancar lainnya) - (hutang dagang + biaya yang masih harus dibayar + hutang pajak + uang muka pelanggan).

§ Pendekatan Keuangan (financial approach)

Invested capital = Pinjaman jangka pendek + Pinjaman jangka panjang yang lain (interest bearing liabilities) + ekuitas pemegang saham (Amin Widjaya Tunggal, 2001: 5)

d. Formulasi Perhitungan EVA

Pengertian EVA menurut Godrej Consumer Product Limited (GCPL) (2007:46) merupakan selisih antara laba bersih setelah pajak dengan rata-rata tertimbang setelah dikalikan total capital employed. Dari definisi itu, EVA dapat dirumuskan sebagai berikut:

EVA = NOPAT – (WACC x CE)

Keterangan:

NOPAT = Net operating profit after taxes

WACC = Weighted average cost of capital

CE = Total capital employed

Sedangkan Amin Widjaya Tunggal (2001:5) membuat rumus EVA sebagai berikut:

EV A = NOPA T - biaya modal

Keterangan:

Biaya modal : WACC dikali dengan modal yang diinvestasikan

e. Standar Penilaian EVA

Konsep EVA menjelaskan tiga ukuran yang dapat diasumsikan dalam menilai tingkat kesehatan keuangan perusahaan, yaitu:

a. EVA > 0, berarti kinerja perusahaan tergolong sehat sekali karena telah terjadi proses nilai tambah pada perusahaan. lni bermakna laba yang tersedia mampu melebihi harapan investor, dapat mengembalikan pinjaman kreditur serta dapat menganggarkan pemberian bonus kepada karyawan.

b. EVA = 0, berarti kinerja perusahaan tergolong sehat karena berada dalam titik impas. lni bermakna laba yang tersedia cukup untuk memenuhi harapan kreditur dan investor.

C. EVA<>

f. Suatu Ilustrasi Aplikasi EVA

Godrej Consumer Product Limited (GCPL) mengukur kinerja keuangannya dengan menggunakan konsep EVA. Proses penyusunannya dapat dilihat pada tabel 1, 2, dan 3.

Tabel 1: Perhitungan NOPAT

Uraian/Remark

2006-07

2005-06

Profit before tax (PBT)

Interest

Profit on sale of Fixed Asset

Net operating Profi t before tax

Cash operating tax on PBT

Cash operating tax on interest

Tax Adjustments

Net operating Profi t after tax

(NOPAT)

134.4

5.8

0.1

140.3

(15.8)

(1.9)

4.8

127.4

131.3

4.3

(1.5)

134.1

(12.5)

(1.5)

0.5

120.5

Sumber: diadopsi dari GCPL, 2007

Menurut GCPL (2007:46) untuk menghitung WACC suatu perusahaan, maka harus menghitung cost of equity dan cost of debt .Pasar dianggap akan memberikan tambahan pendapatan terhadap resiko yang berpengaruh pada arus kas perusahaan. Hal ini dinamakan market premium (P) resiko yang sifatnya spesifikyang melebihi atu di ats market risk premium dinamakan leveraged beta (ß), yang merupakan rasio koefisien variasi dari stock prices perusahaan dibandingkan dengan pasar keseluruhan. Cost of equity merupakan risk free return (r) ditambahkan company premium (p x ß) kemudian dilakukan weighted ratio of equity to market value (e) untuk mendapatkan weighted cost of equity.

Tabel 2: Calculation of WACC

Uraian/Remark

2006-07

2005-06

Leverage beta (ß)

Market risk premium (P)

Equity risk premium (Pxß)

Risk free return (r)

Cost of equity {r+(Pxß)}

Equity/market value (e)

Wt. Cost of equity [{r+(Pß)}e

Pretax cost of borrowing (I)

Retention rate (1-tax rate)

Debt/market value (d)

Wt. Cost of debt {I(1-t)d}

WACC

0.68

8%

5.4%

7.0%

12.4%

0.95

11.8%

8%

5.3%

0.05

0.3%

12.1%

0.68

8%

5.4%

5.9%

11.4%

0.95

10.8%

8%

5.3%

0.05

0.3%

11.0%

Sumber: diadopsi dari GCPL, 2007

Tabel 3 shows the EVA generated by GCPL.

EVA=NOPAT –[{I(1-tax rate)d}+{(r+pß)e}] x capital employed.

Uraian/Remark

2006-07

2005-06

NOPAT

Capital Charge

EVA

127.4

(16.7)

110.0

120.5

(11.6)

108.9

Sumber: diadopsi dari GCPL, 2007

Hasil perhitungan EVA sebesar $ 110 dalam tahun 2006-07. Hal ini menunjukkan berarti kinerja perusahaan tergolong sehat sekali karena telah terjadi proses nilai tambah pada perusahaan. lni bermakna laba yang tersedia mampu melebihi harapan investor dapat mengembalikan pinjaman kreditur serta dapat menganggarkan pemberian bonus kepada karyawan.

3 Kesimpulan

Pengukuran kinerja keuangan merupakan hal yang sangat penting untuk menilai kesehatan suatu perusahaan. Efektivitas Pengukuran kinerja tersebut sangat dipengaruhi oleh metode pengukuran kinerja. EVA sebagai model pengukuran kinerja keuangan yang banyak digunakan perusahaan karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lain. Diantaranya kebaikannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan pemegang saham (Shareholders).

DAFTAR PUSTAKA

Amin Widjaya Tunggal. 2001. Memahami Konsep Economic Value Added (EVA) dan Value

Based Management (VBM). Jakarta: Harvarindo.

Bhattacharyya, A.K. & B.V.Phani1. 2007. Economic Value Added - A General

Perspective. (online http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=545444, diakses 23 Januari 2008)

Daft, R.L. 2006. Manajemen. Terjemahan oleh Dina Angelica. Edisi keenam. Jakarta:

Salemba Empat

Damodaran, Aswath 2007.Value Enhancement Strategies.(Online),

(http//www.stern.nyu.edu/pdfiles/eva.pdf.,diakses 23 Januari 2008).

David, S. Young and Stephen F. O'Byme. 2001. EVA & Manajemen berdasarkan

nilai:Panduan Praktis untuk lmplementasi (diterjemahkan oIeh"Lusy Widdjaj, Mba).

Jakarta: Penerbit SaIemba.

DeMalleno, Jim. 2006. Case in Finance. Terjemahan oleh Ika Permatasari. Edisi kedua. Jakarta: Salemba Empat

Godrej Consumer Product Limited (GCPL). 2007. Economic Value Added (EVA).

(online). (http//www.stern.nyu.edu/pdfiles/eva.pdf.,diakses 25 Januari 2008).

HeIfert, A., Erich. 1993. Analisis l.aporan Keuangan. Edisi Ketujuh. Jakarta: ErIangga.

Lukas Setia Atmajaya. 2002. Manajemen Keuangan. Edisi Revisi. Jakarta: ErIangga.

Martono, D Agus Harjito. 2003. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: EKONISIA Kampus

Fakultas Ekonomi UII.

Richard D. Brealey, Steward C. Myers. 2000. Principles of corporate Finance. 6 rh

ed. Boston: McGraw-Hill International Edition.

Sidharta Utama. 1997. EVA: Pengukur Penciptaan Nilai Perusahaan. Usahawan No. 4, Th

XXVI April 1997.

Stewart, G. Bennet., dan JoeI M. Stern. 1991. The Quest for Value: The EVA

Management Guid. New York: Horper Collins Publisher.

Suad Husnan. 2000: Manajemen Keuangan: Teori Dan Penerapan. Yogyakarta: BPFE.

Sony Yuhono , Edy. Sukarno & M. Ichsan. 2006. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard. Jakarta: Gramedia.

Praktikum Manajemen Keuangan

PRAKTEK MANEJEMEN KEUANGAN

Buku Praktikum ini di susun oleh tim pengajar manajemen dan keuangan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Ujung Pandang. Disusun dalam 2 buah buku yaitu Buku 1 berupa informasi perusahaan dan kasus-kasus perusahaan yang akan di selesaikan, buku 2 merupakan lembar kerja untuk penyelesaian kasus-kasus dalam buku 1. Bahan praktek ini terdiri dari 6 job yaitu: Manajemen Modal Kerja (Working Capital Management), Manajemen Kas dan Sekuritas (Cash and Securities Managemen), Manajemen Persediaan (Inventory Management), Manajemen Piutang (Account Receivable Management), Biaya Modal dan Struktur Modal (Cost of Capital and Capital Structure), Analisis Leverage (Leverage Analysis) dan Penganggaran Modal (Capital Budgeting).

Informasi lebih lanjut untuk memperoleh buku ini, dapat mengubungi Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan Jurusan Akuntanasi Politeknik Negeri Ujung Pandang melalui e-mail accounting_pnup@yahoo.com atau iskandarsabang@yahoo.com