Karena sesuatu dan lain hal, blog kami yang awalnya bernama sabangiskandar.blogspot.com diganti menjadi aksiputer.blogspot.com

23 September 2007

Evaluasi Strategi

Mengevaluasi suatu strategi merupakan langkah penting untuk dijadikan prasyarat terhadap dilanjutkan atau tidaknya sebuah strategi. Suatu strategi yang sedang diimplementasikan hendaknya jangan dievaluasi pada titik akhir tetapi pada saat strategi tersebut dijalankan, ini penting untuk menghindari adanya dampak yang lebih buruk jika strategi yang diformulasikan dari awal ternyata salah. Dalam evaluasi strategi terdapat beberapa variabel yang dapat dievaluasi sebagai dampak dari suatu strategi, variabel-variabel tersebut antar lain peningkatan aset, peningkatan profitabilitas, peningkatan produktivitas, peningkatan penjualan, peningkatan laba, ROI, laba per saham (EPS), dan lain-lain.
Variabel-variabel tersebut tentunya harus dibandingkan antara dasar (base line) yang digunakan sebelum pengimplementasian dan hasil ketika strategi dijalankan. Ketika evaluasi dilakukan tidak tertutup kemungkinan hasil yang diinginkan masih jauh dari hasil akhir yang diharapkan, pada keadaan tersebut penilaian terhadap strategi belum dapat dipastikan bahwa terjadi kesalahan formulasi strategi. Sebagai contoh, laba pada saat sekarang adalah sebesar Rp. 1.000.000,- dan pada dua tahun ke depan diharapkan menjadi Rp. 1.400.000,-. Pada akhir tahun pertama ternyata laba secara matematika paling tidak harus sebesar Rp. 1.200.000,- tetapi jika pada kenyataan laba pada akhir tahun pertama hanya sebesar Rp. 1.175.000,- apakah akan diputuskan bahwa formulasi strategi salah dan harus dibatalkan?
Variabel lainnya harus di evaluasi juga, seperti kemungkinan adanya peningkatan biaya yang terjadi, adanya perubahan regulasi perpajakan, perubahan terhadap keadaan perekonomian yang mengakibatkan perubahan terhadap pangsa pasar. Hasil evaluasi tersebut dapat dijadikan informasi dalam perubahan tindakan untuk menyusun formulasi strategi berikutnya.
Evaluasi merupakan suatu hal yang sangatlah kompleks, banyaknya faktor-faktor baik dari internal perusahaan maupun eksternal dapat mengakibatkan terjadinya selisih antara hasil yang diharapkan dan aktualnya. Selain proses evaluasi juga merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan khususnya dalam mengevaluasi karyawan. Pada dasarnya tidak seorang pun yang mau dievaluasi, apalagi ketika akan dievaluasi terlalu dekat. Jika pada hasil evaluasi terhadap, menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan kemudian orang tersebut diberi tekanan maka tidak tertutup kemungkinan kinerja karyawan tersebut akan lebih buruk lagi kedepannya. Jadi evaluasi tidak hanya melihat seberapa hasil yang diperoleh tetapi bagaimana juga menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut. Kompleksitas dari suatu proses evaluasi strategi hendaknya diringkas sedemikian rupa agar proses evaluasi tidak terlalu luas.
Terdapat tiga hal yang dapat dikombinasikan untuk melihat hasil suatu strategi dan dapat pula dijadikan acuan dalam mengambil tindakan, hal tersebut adalah: (1) keadaan internal, (2) keadaan eksternal, dan (3) kemajuan perusahaan ke arah yang diinginkan serta memuaskan. Secara logika perusahaan tidak menginginkan terjadinya perubahan pada sisi internal dan eksternal sehingga strategi dapat berjalan dan memberikan hasil yang diharapkan. Apabila terjadi perubahan pada sisi internal maupun eksternal namun hasil yang diharapkan pun tercapai maka tetap perlu manajer juga harus mampu mengambil suatu pelajaran untuk dijadikan pertanyaan sekaligus masukan pada penyusunan strategi berikutnya, terlebih lagi jika terjadi hasil tidak tercapai sebagai akibat perubahan internal dan eksternal perusahaan. Strategi yang bagus hendaknya mampu mempersiapkan strategi lainnya dalam rangka mengantisipasi adanya perubahan internal dan eksternal, dengan kata lain jangan menformulasikan suatu strategi ketika perubahan telah terjadi karena akan membutuhkan waktu yang lebih banyak lagi.
Peranan audit dalam evaluasi strategi. Audit laporan terhadap laporan keuangan oleh pihak eksternal dapat pula dikatakan sebagai proses evaluasi, audit akan memberikan laporan-laporan tentang hal-hal yang berjalan tetapi tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, laporan audit tersebut dapat dijadikan sebagai informasi tambahan dalam menilai hasil implementasi suatu strategi dan pemanfaatan informasi hasil audit tersebut juga merupakan bagian strategi dalam melakukan proses evaluasi karena akan proses audit yang dilakukan oleh pihak eksternal tentunya akan menghemat penggunaan sumber daya internal dalam proses evaluasi dan mendapatkan informasi.
Model evaluasi lain yang sangat baik dan lebih komprehensif adalah evaluasi dengan balance score card, evaluasi dengan balance score card akan melihat beberapa aspek, antara lain (1) aspek keuangan, (2) aspek pelanggan, (3) aspek infrastruktur, dan (4) aspek proses bisnis. Evaluasi dengan aspek keuangan telah banyak dilakukan untuk melihat peningkatan suatu perusahaan, namun perlu disadari aspek keuangan tidak terlepas dari aspek-aspek lainnya. Keadaan keuangan perusahaan yang baik bukan satu-satunya gambaran terhadap kemajuan suatu perusahaan, pelanggan yang tidak puas namun tidak mengajukan keberatan karena ketidaktahuan proses melakukan pengaduan atau mungkin membutuhkan waktu dan biaya menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Alat yang digunakan oleh perusahaan dalam beraktivitas juga merupakan suatu hal yang sangat menentukan hasil dari sebuah strategi demikian pula proses bisnis. Pada akhir-akhir ini terdapat ukuran baru sebagai tambahan dari penilaian dalam balance score card, ukuran tersebut adalah aspek lingkungan, pada aspek ini perusahaan hendaknya mampu memperhatikan dampak lingkungan dari proses bisnis.

Implementasi Strategi



Mengimplementasikan suatu strategi tentunya akan memberikan pengaruh baik secara langsung maupun secara tidak langsung kepada seluruh elemen dalam perusahaan seperti para manajer, karyawan baik tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Pada pihak luar juga akan terpengaruh dengan implementasi suatu strategi, pihak-pihak luar tersebut antara lain pemegang saham, pemasok, pesaing, pelanggan, dan pemerintah. Dengan kata lain pengaruhnya sangatlah luas, tidak hanya terbatas pada share holder bahkan pada lingkup stake holder.


Segmentasi dan positioning produk sebagai alat implementasi strategi. Pemasaran suatu produk merupakan salah satu proses yang harus ditempuh oleh setiap perusahaan. Jika dibandingkan dengan proses yang sifatnya intern perusahaan seperti produksi, kendala-kendala yang akan ditemukan lebih banyak kendala yang bersumber dari dalam perusahaan dan tentunya kendala tersebut lebih mudah diatasi karena posisinya yang mudah dikendalikan oleh pihak manajemen. Proses pemasaran memiliki keunikan tersendiri karena akan lebih dipengaruhi variabel ekstern yang tentunya sangatlah sulit bagi manajemen untuk melakukan intervensi. Sebagai contoh penetapan harga yang terendah menurut hitungan perusahaan dalam rangka meningkatkan jumlah pelanggan akan mengalami kendala adanya perusahaan lain yang mampu menerapkan harga yang lebih rendah lagi, pada kasus ini tidak mungkin pihak manajemen perusahaan melakukan intervensi dengan melarang
perusahaan lain dalam menerapkan harga.


Harga pada yang dicontohkan di atas hanyalah salah satu strategi yang dapat diimplementasikan. Strategi lain yang dapat dipilih adalah dengan cara melakukan segmentasi pasar, pada strategi ini menentukan siapa pelanggan yang akan dijadikan sasaran. Ketika mendapat pertanyaan siapa yang akan dijadikan sasaran, maka jawabannya tidak hanya menunjukkan orang perorangan tetapi akan menunjuk suatu kelompok, seperti pelanggan berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, pelanggan yang dikelompokkan berdasarkan umur, pelanggan yang dikelompokkan berdasarkan wilayah, kelompok berdasarkan penghasilan, dan sebagainya. Kelompok pun dapat dikombinasikan seperti kelompok laki-laki yang berumur antara 20 tahun s/d 30 tahun yang berada di wilayah Makassar dan berpenghasilan antara Rp. 1.000.000 s/d Rp. 2.000.000. Menentukan sasaran pelanggan dengan cara seperti ini akan memudahkan dalam proses dalam menentukan langkah-langkah yang harus dipersiapkan demikian pula mempermudah dalam mengevaluasinya. Selain itu dengan penentuan sasaran pasar akan memudahkan dalam menentukan teknik cara memasarkan suatu produk, termasuk media iklan apa yang harus digunakan, sarana penjualan yang akan digunakan dan sebagainya. Sebagai contoh perusahaan memproduksi mobil dengan sasaran pelanggan adalah orang-orang yang berpenghasilan di atas Rp. 10.000.000 per bulan, tentunya dalam mengiklankan produk tersebut tidak mungkin dilakukan melalui media radio atau dengan selebaran selebaran yang akan dibagikan di pojok-pojok jalan, di angkutan umum.


Perkembangan dunia cyber menjadi salah satu media pemasaran yang sangat favorit saat ini, media ini relatif terhitung murah dan memiliki jangkauan yang sangat luas sekalipun demikian masih ada terdapat beberapa wilayah tertentu yang belum terjangkau karena keterbatasan fasilitas pelanggan untuk mengakses internet, seperti di pedesaan.


Selain penentuan sasaran, strategi lain yang diminati saat ini adalah dengan melakukan positioning produk. Mungkin Anda pernah mengunjungi beberapa tempat perbelanjaan pakaian untuk mencari pakaian yang sesuai dengan keinginan Anda. Setelah mengunjungi beberapa tempat tersebut Anda membuat kesimpulan bahwa pakaian yang anda cari berada pada salah satu tempat (anggaplah tempat A), maka di kemudian hari jika Anda akan mencari lagi maka peluang untuk tidak mengunjungi tempat A tersebut akan lebih kecil karena Anda sudah mengetahui bahwa di tempat tersebut bisa menemukan pakian yang diinginkan atau mungkin ketika salah satu teman Anda ingin membeli pakaian kemudian Anda merekomendasikan untuk ke tempat A. Pada kasus di atas tempat A sebagai salah satu tempat penjual pakaian telah berhasil memposisikan diri sebagai penjual produk yang sesuai yang anda inginkan. Keinginan tersebut bisa saja dipengaruhi karena harga, kualitas, pelayanan dan sebagainya. Selain dengan cara seperti itu, seorang konsumen pun biasanya akan memilih sebuah produk yang dianggapnya bagus karena citra yang melekat pada produk tersebut, seperti pada kasus barang elektronik produk-produk bermerk Sony merupakan suatu produk yang tidak mungkin ditolak oleh konsumen jika ditawarkan pada produk lain yang memiliki fungsi, harga atau variabel lain yang pada dasarnya sama dengan produk Sony tersebut. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan posisi suatu produk diminati oleh konsumen seperti harga, kualitas, modal. Faktor lain yang tidak melekat pada produk adalah pelayanan (personaliti), kenyamanan, dan sebagainya.


Proyeksi laporan keuangan sebagai alat implementasi strategi utama. Melakukan proyeksi laporan keuangan merupakan salah satu langkah penting dalam melihat dampak dari pemilihan dan pengimplementasian strategi baru. Setiap strategi baru biasanya bertujuan untuk peningkatan laba, peningkatan laba tersebut dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan penjualan atau penurunan biaya. Jika peningkatan penjualan yang ditempuh maka hendaknya laporan keuangan proyeksi dibuat dengan cara mengubah angka penjualan terlebih dahulu kemudian mengubah dampak-dampak lain dari perubahan penjualan tersebut seperti berapa besar perubahan harga pokok penjualan (secara total) , jumlah biaya yang akan terjadi. Secara umum jumlah harga pokok penjualan akan berbanding lurus dengan perubahan penjualan. Demikian pula biaya, terdapat biaya yang tidak dipengaruhi oleh peningkatan penjualan seperti biaya tetap. Namun ada kondisi lain pada biaya akan meningkat dengan dilakukannya peningkatan penjualan, sebagai contoh jika pada saat sekarang perusahaan tersebut adalah perusahaan manufaktur dan telah beroperasi dengan kapasitas 100% tentunya perubahan jumlah penjualan akan diikuti jumlah yang seharusnya diproduksi dan peningkatan produksi tersebut akan mengakibatkan dibutuhkannya peralatan produksi yang baru. Penambahan alat produksi yang baru akan mengakibatkan penambahan biaya penyusutan. Proyeksi dengan penurunan biaya dapat pula dilakukan namun mungkin akan meningkatkan komponen biaya lainnya. Sebagai catatan penting, proyeksi penjualan maupun biaya hendaknya dihitung secara akurat.


Apabila penjualan atau biaya telah diproyeksi maka laporan laba rugi proyeksi telah dapat disusun, dengan selesainya proyeksi laporan rugi laba maka proyeksi neraca dapat dibuat. Neraca proyeksi jangan dibuat dengan mendahului proyeksi laporan laba rugi karena terdapat beberapa angka pada neraca yang nilainya diperoleh dari laporan laba rugi. Agar proyeksi tersebut dapat dipahami oleh semua pembacanya maka hendaknya ditambahkan catatan-catatan yang mendasari atau asumsi-asumsi yang digunakan. Proyeksi lain yang tidak kalah pentingnya adalah proyeksi terhadap arus kas, dalam proyeksi arus akan memperlihatkan jumlah kas yang akan diterima dan akan dibayarkan pada masa mendatang. Penggunaan proyeksi laporan keuangan akan sangat membantu bagi pihak manajemen, calon investor dan calon kreditor dalam mengukur kinerja perusahaan di masa depan.


Daya tarik pinjaman versus saham sebagai sumber modal bagi implementasi strategi. Dalam pelaksanaan strategi yang telah diformulasikan biasanya memerlukan dana untuk mengimplementasikannya. Sumber dana yang dapat digunakan jika tidak tersedia dalam perusahaan adalah dengan cara melakukan pinjaman atau menerbitkan saham. Terdapat beberapa alat analisa yang dapat digunakan untuk penentuan sumber pendanaan ini, pada kali ini akan diperlihatkan dua alat analisa, yaitu dengan analisa laba dan analisa EPS (Earning Per share). Dalam analisa laba, sederhanya yang akan dibandingkan adalah jumlah laba yang diperoleh, laba dijadikan sebagai indikator dalam penilaian karena laba ini akan mempengaruhi tingkat pengembalian (Return On Investment – ROI), semakin besar perolehan laba maka pengembalian atas investasi semakin cepat. Dalam analisa EPS, yang akan diamati adalah seberapa besar peningkatan EPS. EPS ingin mengindikasikan peningkatan kesejahteraan yang diperoleh pemegang saham, EPS ini diukur dengan cara membagi laba setelah bunga dan pajak (Earning After Tax – EAT) ke jumlah saham yang beredar. Dengan asumsi bahwa dengan sumber pendanaan dari pinjaman maupun saham akan menghasilkan laba sebelum bunga dan pajak (Earning Before Interest and Tax – EBIT) yang sama, tetapi akan berbeda pada sisi EAT, EAT dengan pendanaan bersumber dari saham akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber pendanaan dari pinjaman karena, hal ini dikarenakan adanya biaya bunga yang muncul ketika pendanaannya dari pinjaman. Pada sisi lain, sekalipun EAT lebih besar jika pendanaan dari saham namun belum tentu EPS lebih besar, hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah saham yang beredar jika menggunakan saham. Contoh berikut ini akan memberikan gambaran dampak terhadap laba setelah pajak (EAT) dan EPS dengan sumber pendanaan dari saham dan pinjaman, asumsi pada contoh adalah: (1) saham yang beredar sebelum pendanaan 2.000 lembar; (2) EBIT sebelum pendanaan Rp. 9.000.000,- dan setelah pendanaan Rp. 15.000.000,- (3) dana yang dibutuhkan Rp. 10.000.000,-; (4) harga saham yang akan diterbitkan Rp. 10.000,- per lembar; (5) tingkat suku bunga pinjaman 20%; dan (6)persentase pajak 25%.



Jika dilihat dari hasil perhitungan di atas, maka EAT yang paling tinggi adalah ketika pendanaan bersumber dari saham, hal ini dikarenakan tidak adanya biaya bunga, sementara EPS yang paling tinggi akan terjadi ketika pendanaan bersumber dari pinjaman hal ini diakibatkan adanya peningkatan laba sementara jumlah saham yang beredar. Analisa dengan melihat perubahan EAT dan EPS merupakan cara yang baik, jika perusahaan akan fokus pada peningkatan EAT maka sebaiknya perusahaan memilih pendanaan dengan saham karena makin kecil pinjaman maka akan lebih kecil pula beban bunga yang harus ditanggung, namun apa bila akan fokus pada peningkatan EPS maka sebaiknya perusahaan sebaiknya memilih pinjaman karena tidak akan mengakibatkan penambahan jumlah saham yang beredar. Hal ini bisa dijadikan alat analisa dengan asumsi bahwa pendanaan baik saham maupun pinjaman memberikan peningkatan EBIT yang sama.

14 September 2007

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang, faktor-faktor tersebut adalah:

  1. Ekspor impor, uang pada dasarnya bukan hanya sebagai alat pembayaran tetapi uang pun sama halnya dengan komoditi lainnya yang dapat diperdagangkan. Oleh karena uang tersebut dapat diperdagangkan maka nilai sebuah mata uang akan dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran uang tersebut, semakin banyak permintaan akan suatu mata uang maka akan mengangkat nilai tukar mata uang tersebut dan jika banyak penawaran atas mata uang tersebut maka nilainya pun akan turun. Yang menjadi penyebab atas permintaan dan penawaran atas uang adalah adanya kegiatan ekspor dan impor. Sebagai contoh jika Indonesia akan mengimpor dari Amerika maka Indonesia tentunya membutuhkan Dollar untuk membayar impor tersebut, dan pada saat itulah nilai Dollar akan meningkat.
  2. Inflasi, inflasi adalah kondisi meningkatnya harga barang atau jasa, dengan kata lain menurunnya daya beli suatu mata uang terhadap barang atau jasa. Sebagai contoh pada kondisi normal barang A di Indonesia dinilai dengan harga Rp. 1.000 dan di Amerika dinilai US$ 100 atau Rp. 1.000 setara dengan US$ 100, pada saat di Indonesia terjadi inflasi sebesar 50% dan pada saat yang bersamaan inflasi di Amerika sebesar 10% maka barang A di Indonesia akan dinilai sebesar Rp. 1500 (1.000 + (1.000 x 50%)) dan di Amerika menjadi US$ 110 (100 x (100 x 10%)). Apabila dibandingkan dengan kondisi normal, jika orang Amerika akan membeli barang A maka harus membayar sebesar US$ 150 (100/1000 * 1500) berarti orang Amerika akan lebih membeli di negaranya sendiri karena harganya hanya sebesar $ 110 hal ini akan menyebabkan turunnya potensi ekspor yang akhirnya akan mengurangi permintaan Rupiah oleh orang Amerika. Sebaliknya jika orang Indonesia akan membeli barang A di Indonesia maka harus mambayar sebesar Rp. 1.500 dan jika dikonversi ke dollar maka akan bernilai US$ 150 sementara pada saat yang sama di Amerika hanya bernilai US$ 110 berarti orang Indonesia akan lebih memilih untuk mengimpor dari Amerika, kegiatan impor ini akan menyebabkan tingginya permintaan mata uang dollar yang akhirnya akan meningkatkan nilai dollar terhadap rupiah.
    Dengan asumsi bahwa mata uang dollar tidak mangalami inflasi dan rupiah menurun dari Rp. 1000 menjadi Rp. 1500 maka kondisi tersebut dikatakan US$ mengalami apresiasi terhadap rupiah atau rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar.
    Besarnya apresiasi atau depresiasi dapat dihitung dengan cara seperti berikut: Apresiasi (depresiasi $) = (kondisi1 – kondisi0 )/ kondisi0 ==> (1500 – 1000) / 1000 = 50%; Apresiasi (depresiasi Rp) = (kondisi0 – kondisi1)/kondisi1 ==>(1000 – 1500) / 1500 = 33,33%
  3. Tingkat bunga, secara teori tingkat bunga merupakan tingkat keuntungan riil ditambah dengan tingkat keuntungan premi risiko. Premi risiko adalah tingkat keuntungan untuk menutupi risiko seperti risiko inflasi, likuiditas dan lain-lain sebagainya. Jadi apabila tingkat bunga lebih kecil dari pada tingkat inflasi maka tingkat bunga tersebut tidak akan menarik minat penabung. Hubungannya dengan nilai tukar, apabila inflasi di Indonesia mencapai 50% dan di Amerika sebesar 10% maka tingkat bunga yang sebaiknya di Indonesia adalah di atas 50% dan di Amerika adalah di Atas 10%. Apabila tingkat suku bunga di Indonesia hanya sebesar 30% dan di Amerika sebesar 20% maka minat penabung untuk mendepositokan uangnya di Indonesia akan berkurang dan akan beralih menabung dalam bentuk dollar, akibatnya permintaan akan dollar akan meningkat dan permintaan inilah yang meningkatkan nilai tukar dollar. Sebagai contoh, pada kondisi normal untuk membeli sebuah barang dibutuhkan uang sebesar Rp. 1.000 atau sebesar US$ 100. Ketika di Indonesia terjadi inflasi sebesar 50% dan di Amerika terjadi inflasi 10% maka uang yang dibutuhkan untuk membeli suatu barang sebesar Rp. 1500 atau US$ 110 Jika uang sebesar Rp. 1.000 ditabung dengan tingkat bunga sebesar 40% (di bawah 50%) maka akan akhirnya akan menjadi Rp. 1.400 dan di Amerika tingkat bunga 10% (sama dengan tingkat inflasi) maka uang US$ 100 akan menjadi US$ 110. Coba perhatikan karena inflasi pada kedua negara maka barang yang nilainya US$ 110 dapat dibeli dengan uang Rp. 1.500 namun karena ditabung maka untuk membeli barang tersebut tidaklah cukup karena hanya menghasilkan Rp. 1.400.
  4. Market expectation (pengharapan pasar) pada kondisi masa datang, sebagai illustrasi pada pengharapan pasar ini adalah jika suatu barang pada masa mendatang harganya diperkirakan akan turun drastis maka barang tersebut akan dijual pada saat sekarang untuk menghindari kerugian yang lebih besar, atau sebaliknya jika diperkirakan akan meningkat tajam (daya beli uang menurun) karena terjadinya inflasi maka barang tersebut akan dibeli segera atau dibelanjakan dengan membeli mata uang yang nilainya stabil. Jika uang dianggap sebagai suatu komoditi/barang maka apabila nilainya tukarnya diperkirakan tinggi pada masa mendatang (US$. 1 sebesar Rp. 9.000 diperkirakan menjadi Rp. 8.000) maka uang tersebut akan dipertahankan tetapi jika pada masa mendatang diperkirakan turun (US$. 1 sebesar Rp. 8.000 diperkirakan menjadi Rp. 9.000) maka uang tersebut akan dibelanjakan sesegera mungkin. Hal inilah yang akan menjadi pemicu untuk melakukan permintaan atau penawaran atau suatu mata uang. Pengharapan pasar ini dapat dipicu oleh berbagai hal diantaranya adalah perkiraan inflasi pasar masa mendatang, alasan lainnya adalah dengan pertimbangan kredibilitas atau independensi dari bank sentral dalam hal ini pimpinan bank sentral, jika bank central ketat dalam hal penetapan tingkat suku bunga maka hal ini akan mempengaruhi harapan pasar.
  5. Intervensi bank central di pasar valuta asing, intervensi bank central dapat dilakukan dengan cara melakukan pengendalian terhadap suku bunga atau dengan cara menjual atau melakukan pembelian secara langsung mata uang asing di pasaran. Jika nilai rupiah mengalami apresiasi yang tinggi maka bank sentral akan menurunkan tingkat bunga atau melakukan pembelian mata uang asing dan sebaliknya jika mengalami depresiasi maka suku bunga akan dinaikkan atau dengan menjual mata uang asing.

10 September 2007

RISIKO dan BETA

Oleh: Muh. Iskandar Sabang
RISIKO
Dalam melakukan investasi, investor biasanya akan mempertimbangkan dua hal yaitu seberapa besar return yang dapat diperoleh dan seberapa besar risiko yang mungkin dihadapi. Risiko merupakan kemungkinan perbedaan antara return aktual yang diterima dengan return yang diharapkan, semakin besar kemungkinan perbedaannya maka berarti semakin besar risiko investasi tersebut. Terdapat beberapa sumber risiko yang dapat mempengaruhi besarnya risiko suatu investasi, sumber tersebut antara lain (Tandeliling, 2001):
  1. Risiko suku bunga
  2. Risiko pasar
  3. Risiko inflasi
  4. Risiko bisnis
  5. Risiko finansial
  6. Risiko likuiditas
  7. Risiko nilai tukar mata uang
  8. Risiko negara

Di samping berbagai sumber risiko tersebut, dalam manajemen investasi modern juga dikenal pembagian risiko total investasi ke dalam dua jenis resiko, yaitu risiko sistematis dan resiko tidak sistematis.

Risiko sistematis adalah bagian risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan pembentukan portofolio, Risiko ini akan ditemui pada semua jenis investasi. Risiko ini terjadi karena kejadian-kejadian diluar kegiatan perusahaan seperti inflasi, resesi, dan lain sebagainya. Risiko ini sering pula disebut dengan risiko yang tidak dapat didiversifikasikan atau risiko pasar atau risiko umum.

Risiko tidak sistematis merupakan risiko sekuritas yang dapat dihilangkan dengan membentuk portofolio, risiko ini akan ditemui pada salah satu investasi namun tidak akan ditemui pada jenis investasi lainnya, risiko ini merupakan risiko unik suatu perusahaan. Risiko ini disebabkan oleh kejadian intern sebuah perusahaan seperti pemogokan buruh, tuntutan oleh pihak lain, penelitian yang tidak berhasil dan sebagainya. Risiko ini sering pula disebut risiko perusahaan atau risiko spesifik atau risiko yang tidak dapat didiversifikasikan.
Sebagai gambaran berikut ini adalah beberapa risiko yang terjadi dalam beberapa perusahaan:


Risiko A merupakan risiko tidak sistematis karena hanya ditemukan ketika melakukan investasi pada saham perusahaan X demikian pula risiko B, risiko C juga merupakan risiko tidak sistematis karena risiko tersebut tidak terjadi pada perusahaan Y sedangkan risiko D merupakan risiko yang sifatnya sistematis karena terjadi pada saat melakukan perusahaan X, Y dan Z.

Hasil penjumlahan risiko yang ditemukan pada suatu investasi disebut dengan risiko total, pada contoh di atas, risiko total pada perusahaan X adalah risiko A + C + D. Dalam hal portofolio risiko total akan semakin kecil dialami oleh investor jika melakukan investasi dengan tingkat diversifikasi yang lebih banyak sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut:


BETA

Beta merupakan suatu pengukur volatilitas (volatility) return suatu sekuritas (gain + deviden/bunga) atau return portofolio terhadap return pasar. Volatilitas sendiri adalah frekuensi dari return-return suatu sekuritas atau portofolio suatu sekuritas dalam suatu periode waktu tertentu. Beta sekuritas ke - i mengukur volatilitas return sekuritas ke-i dengan return pasar. Beta portofolio mengukur volatilitas return portofolio dengan return pasar, dengan demikian risiko sistematis dari suatu sekuritas atau portofolio relatif terhadap suatu pasar. Jika volatilitas suatu sekuritas atau portofolio secara statistik mengikuti fluktuasi dari return-return pasar, maka beta dari suatu sekuritas atau portofolio tersebut dikatakan bernilai 1. Karena fluktuasi juga sebagai pengukur dari risiko (varian return sebagai pengukur resiko merupakan fluktuasi dari return-return terhadap ekspektasinya), maka beta bernilai 1 menunjukkan bahwa risiko sistematis suatu sekuritas atau portofolio sama dengan risiko pasar. Beta bernilai 1 ini menunjukkan bahwa perubahan return pasar sebesar x%, secara rata-rata, sekuritas atau portofolio akan berubah juga sebesar x%.

Dilihat dari peruntukan beta dalam kaitannya dengan risiko sistematis maka beta dapat dibagi dua yaitu beta sekuritas dan beta portofolio. Untuk mengetahui beta portofolio maka beta masing-masing sekuritas perlu dihitung terlebih dahulu.

Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis yang selanjutnya beta hasil perhitungan dapat digunakan untuk mengestimasi beta masa datang. Beta data historis dapat dihitung dengan menggunakan data historis berupa data pasar (return sekuritas dan return pasar), data akuntansi (laba-laba perusahaan dan laba index pasar) atau data fundamental (menggunakan variabel-variabel fundamental). Beta yang dihitung dengan data pasar disebut dengan beta pasar, beta yang dihitung dengan data akuntansi disebut dengan beta akuntansi dan beta yang dihitung dengan data fundamental disebut dengan beta fundamental.

Beta pasar dapat diestimasi dengan mengumpulkan nilai-nilai historis dari sekuritas dan return dari pasar selama periode tertentu. Dengan asumsi bahwa hubungan antara return-return sekuritas dan return-return pasar adalah linear maka beta pasar dapat diestimasi dengan cara memplot garis diantara titik return.

Contoh berikut adalah return sekuritas saham A (RA) dan return pasar dengan IHSG (RM):

Besarnya beta pasar untuk saham A di atas adalah:

Beta juga dapat dihitung dengan menggunakan teknik regresi, teknik regresi untuk mengestimasi beta suatu sekuritas dapat dilakukan dengan menggunakan return-return sekuritas sebagai variabel dependent dan return-return pasar sebagai variabel independent. Persamaan regresi yang dihasilkan dari data time series akan menghasilkan koefisien beta yang diasumsikan stabil dari waktu ke waktu, jika sifatnya stabil maka semakin lama periode observasi yang digunakan pada persamaan regresi, semakin lebih baik hasil dari beta. Persamaan regresi yang digunakan untuk mengestimasi beta dapat didasarkan pada indeks tunggal atau model pasar dan dapat pula dengan menggunakan model CAPM (Capital Asset Pricing Model).

Beta dengan index tunggal dapat dihitung dengan persamaan berikut:


Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan teknik regresi:
Dari hasil regresi di atas, persamaan regresi yang didapat adalah:

Beta merupakan koefisien parameter dari variabel RM, yaitu sebesar 0,827464789. Koefisien ini adalah sifginifikan dengan p-value 0,0000378. Beta yang diperoleh dari teknik regresi tidak menyimpang jauh dari beta yang dihitung dengan teknik plotting sebesar 1,09.

Beta dengan model CAPM (Capital Asset Pricing Model) dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Dengan model ini return market ditambahkan dengan return-return bebas resiko (RBR)

Berikut ini adalah hasil perhitungan dengan teknik regresi:
Dari hasil regresi di atas, persamaan regresi yang didapat adalah:
Besarnya beta adalah 0,561864341 yang secara statistik signifikan dengan P-value 0,009473
Secara definisi beta merupakan pengukur volatilitas antara return-return suatu sekuritas (portofolio) dengan return-return pasar. Jika volatilitas diukur dengan kovarian, maka kovarian return antara sekuritas ke – i dengan return pasar adalah sebesar σiM. Jika kovarian ini dihubungkan dengan relatif risiko pasar (yaitu dibagi dengan varian return pasar atau σM2) maka hasil ini akan mengukur risiko sekuritas ke – i relatif terhadap risiko pasar atau disebut dengan beta. Dengan demikian beta dapat dihitung dengan:

Besarnya beta adalah sebagai berikut:













07 September 2007

MANAJEMEN LABA

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

Alasan manejer atau pembuat melakukan manajemen adalah mengharapkan sesuatu manfaat dari tindakan yang dilakukan. Ada kemungkinan lain yaitu adanya motivasi tertentu. Inti manajemen laba adalah pemilihan metode. Manajer melakukan pengaturan laba karena beberapa hal, berdasar empiris dan teori, laba dijadikan sebagai target dalam proses penilaian prestasi utama suatu departemen atau perusahaan, laba juga dijadikan sebagai alat mengurangi biaya keagenan (agency cost) jika dilihat dari teori keagenan dan biaya kontrak jika dilihat dari segi teori kontrak, sebagai contoh laba dijadikan sebagai patokan pemberian bonus. Selain itu untuk kepentingan pembuat keputusan oleh banyak pihak (investor, penyedia dana/kreditor, manajer pemilik atau pemegang saham dan pemerintah.
Manajer dapat melakukan pengaturan laba karena adanya beberapa peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan antara lain:
  1. Menajemen akrual, dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas, juga keuntungan secara yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Kongkritnya, mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan atau biaya, menganggap sebagai biaya atau investasi yang dapat diamortisasi, perubahan metode akuntansi.
  2. Penerapan kebijaksanaan akuntansi yang wajib, aturan akuntansi akan diterapkan lebih awal atau menunda sampai bersifat wajib untuk diterapkan. Sebagai contoh, Ayres menemukan penerepan lebih awal (pada masa sosialisasi) akan meningkatkan keuntungan $ 0.38 per saham, penerepan lebih awal juga merupakan prestasi bagi manajer.
  3. erubahan akuntansi secara sukarela, berkaitan mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi, contoh metode penilaian persediaan, metode penyusutan.
  4. Investasi dan pembelanjaan.

Konsep laba dalam FASB (Financial Accounting Standards Board) adalah laba komprehensif, dimaknai kenaikan aset bersih selain berasal dari transaksi dengan pemilik. Di dalam akuntansi laba dimaknai selisih antara pendapatan dan biaya karena akuntansi menganut konsep kos historis, asas akrual dan konsep penandingan, dengan kata lain laba bermakna sebagai pengukur atas pengembalian atas investasi dari pada sekedar perubahan kas. Dalam hubungannya dengan pemerintah maka laba merupakan objek pajak.

Dilihat dari beberapa pengertian di atas maka ada beberapa pihak yang berkepentingan dengan pengungkapan laba yang secara garis besar dibagi dua yaitu pihak intern dan pihak ektern, namun semua pihak ektern mempunyai kepentingan yang berbeda-beda terhadap informasi laba:

  1. Pihak investor. Laba akan dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan apakah akan melakukan investasi atau tidak (dengan menghilangkan pertimbangan tujuan tertentu yang ingin dicapai seperti ingin menguasai karena mempunyai hubungan lini aktivitas perusahaan sebelumnya). Untuk kepentingan ini, manajer cenderung berusaha agar laba lebih tinggi.
  2. Pemilik perusahaan. Pemilik berkepentingan untuk mengetahui sejauh mana kinerja manajer dalam mengelolah perusahaan dan sebagai dasar untuk melakukan seberapa besar imbalan (deviden) yang akan diperoleh. Pada kondisi ini manajemen akan dihadapkan dengan dua kondisi yaitu laba yang tinggi akan merupakan indikator kinerja dan laba yang rendah akan memperkecil arus kas yang harus dikeluarkan untuk pembayaran deviden, namun kecenderungan manajer memilih untuk kinerja dinilai lebih baik dibanding mempertimbangkan kas yang harus dikeluarkan.
  3. Pihak kreditor. Sama dengan pertimbangan investor, kreditor akan menilai seberapa besar peluang untuk memperoleh keuntungan. Untuk kepentingan ini, manajer cenderung berusaha agar laba lebih tinggi.
  4. Pemerintah. Berkepentingan seberapa besar pajak yang dapat diperoleh dari suatu perusahaan. Pada keadaan ini manajer cenderung berusaha laba tidak terlalu besar.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa laba merupakan selisih antara pendapatan dan biaya, berarti untuk mengatur laba tidak bisa terlepas dari kedua hal tersebut karena laba hanya merupakan hasil proses matematika.

Pendapatan dapat diartikan dengan beberapa konsep, namun secara netral pendapatan adalah produk perusahaan sebagai hasil dari upaya produktif. Untuk melakukan pengaturan laba melalui pendapatan maka laba maka pembuat laporan keuangan akan melakukan melalui pengakuan dan mengatur saat pengakuan pendapatan.

Dalam teori akuntansi pengakuan dapat dibagi dua yaitu (1) terealisasi atau cukup pasti terealisasi dan (2) terbentuk atau terhak. Jika dilihat pada point pertama, cukup pasti terralisasi akan menimbulkan persepsi yang berbeda pada manajer dengan kata lain manajer dapat mengatakan suatu objek tidak cukup pasti sekalipun sudah cukup pasti jika ingin mengurangi pendapatan dan manajer dapat mengatakan cukup pasti sekalipun kenyataannya tidak cukup pasti, peluang ini merupakan suatu celah tersendiri yang dapat dimanfaatkan oleh pembuat laporan keuangan (dalam hal ini manajer). Demikian pula jika berbicara saat pengakuan, terdapat beberapa pilihan antara lain (1) pada saat kontrak, (2) selama proses produksi secara bertahap, (3) pada saat proses produksi selesai, (4) pada saat penjualan dan (5) pada saat terkumpul. Selain itu, manajer juga dapat melakukan pengaturan pada prosedur-prosedur pengakuan.

Pada komponen biaya, manajer dapat melakukan pengaturan yang konsekuensinya akan meningkatkan laba atau menurunkan laba. Sama halnya dengan pendapatan, biaya juga dapat diatur melalui pengakuan dan saat pengakuan. Terdapat beberapa hal yang sifatnya umum dilakukan dalam pengaturan biaya yaitu (1) melalui pengaturan waktu pengakuan, (2) pemilihan metode-metode seperti metode penilaian persediaan yang akan menentukan berapa besar persediaan yang menjadi kos maupun metode-metode penyusutan. Selain itu terdapat beberapa bentuk pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai biaya atau dikategorikan sebagai investasi, jika dikategorikan sebagai biaya maka pengeluaran-pengeluaran tersebut tentunya akan menjadi pengurang yang akhirnya akan memperkecil laba dan jika dikategorikan sebagai investasi maka terdapat usaha untuk membagi pengeluaran-pengeluaran tersebut kebeberapa periode.

Manajemen laba bukanlah suatu hal merugikan selama dilakukan dalam koridor-koridor peluang, manajemen laba tidak selalu diartikan dengan proses manipulasi laporan keuangan karena terdapatnya beberapa pilihan metode yang dapat digunakan dan bukan sebagai suatu larangan. Manajemen laba berusaha untuk mengatur kondisi perusahaan dan sebagai usaha untuk mempengaruhi pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan.

Berawal dari pengertian laba sebagai selisih antara pendapatan dan biaya mana langkah untuk melakukan pengaturan laba dapat dilakukan dengan pengaturan pendapatan dan pengaturan biaya. Pengaturan pendapatan dapat dilakukan dengan mengatur pengakuan dan saat pengakuan pendapatan itu sendiri, demikian pula halnya dengan biaya. Pengeluaran perusahaan dapat diperlakukan sebagai biaya maupun diperlakukan sebagai investasi.

Pengaturan laba dapat saja dilakukan selama tidak mengaburkan atau menghilangkan informasi atau masih mencerminkan keadaan yang sebenarnya terjadi pada perusahaan.
Kepada para penyusun laporan keuangan, hendaknya manajemen laba tidak didasari pada kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi seperti keinginan memperoleh bonus dengan laba yang tinggi.

RASIO KEUANGAN PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

Dalam melakukan penilaian sebuah perusahaan maka laporan keuangan merupakan salah satu sumber data yang paling banyak digunakan, melalui data laporan keuangan tersebut maka dapat dilakukan analisa rasio keuangan yang akan menggambarkan kondisi sebuah perusahaan. Rasio keuangan yang umum digunakan terdiri dari:


  1. Rasio likuiditas, rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dengan segera (kewajiban jangka pendek).
  2. Rasio aktivitas, rasio yang menunjukkan efektif atau tidak efektif sebuah perusahaan dalam menggunakan dan mengendalikan sumber daya yang dimiliki.
  3. Rasio probabilitas, rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba.
  4. Rasio leverage, rasio yang menunjukkan perbandingan dana yang disediakan oleh pemilik dengan dana pinjaman perusahaan dari pihak luar.
Namun bagaimana jika akan dilakukan penilaian sebuah pemerintahan (propinsi, kabupaten/kota) dengan berdasarkan laporan keuangan yang dibuat pemerintah yang bersangkutan, apakah masih relevan jika rasio-rasio keuangan di atas digunakan untuk melakukan penilaian? Jawabannya, tentunya tidak sesuai karena rasio-rasio di atas diperuntukkan bagi perusahaan komersil yang profit oriented sementara instansi pemerintahan tidak profit oriented. Disisi lain konten pelanggan antara perusahaan komersil berbeda dengan instansi pemerintah. Karena perbedaan tersebut pun maka proses pelaksaannya tidak sama pula. Pada instansi pemerintahan ada beberapa rasio yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian, antara lain:


Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, rasio ini akan menunjukkan seberapa besar dana sendiri (Pendapatan Asli Daerah) yang digunakan untuk membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Semakin besar rasio ini berarti ketergantungan terhadap bantuan dari pihak luar seperti hibah, bantuan pemerintah pusat maupun propinsi, rasio ini pun menggambarkan seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melakukan pembangunan karena PAD diperoleh dari masyarakat melalui pajak, retribusi daerah yang menjadi komponen utama dalam PAD.

Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah, setiap pemerintahan telah memiliki estimasi Pendapatan Asli Daerah yang tentunya disusun berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki suatu daerah. Tidak tertutup kemungkinan dalam realisasinya, Pendapatan Asli Daerah lebih besar atau lebih kecil dari yang telah diestimasikan. Rasio Efektivitas PAD ini menunjukkan seberapa efektif suatu daerah dalam merealisasikan PAD yang telah dianggarkan tersebut.
Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah, dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah tentunya dikeluarkan biaya-biaya, hal ini akan menggambarkan kinerja pemerintah dalam melakukan pemungutan pendapatan.

Rasio Aktivitas, rasio ini melakukan perbandingan antara aktivitas-aktivitas baik dari segi apa yang dilaksanakan maupun kapan pelaksanaannya. Secara garis besar aktivitas yang membutuhkan belanja dalam pemerintahan adalah dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Demikian pula pelaksanaan aktivitas tersebut dapat terbagi-bagai dalam beberapa periode (bagian dalam tahunan). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah khususnya pasal 37 menyebutkan bahwa daerah menyampaikan laporan triwulan pelaksanaan APBD kepada DPRD. Tujuan dari pelaporan triwulan tersebut disamping sebagai kontrol jangka pendek juga diharapkan adanya pemerataan pelaksanaan dalam tiap periodenya. Apabila dalam tiap periodenya tidak merata berarti ada pemanfaatan tenaga kerja tidak merata pula. Terkadang pula dalam pelaporan triwulan khususnya pada triwulan awal belanja akan diperkecil sehingga laporan APBD terlihat surplus (dengan asumsi realisasi penerimaan sesuai dengan anggaran) ini berarti akan terjadi penumpukan beban pada triwulan akhir.

Rasio Aktivitas ini akan melihat keserasian antara belanja rutin terhadap APBD dan keserasian antara belanja pembangunan terhadap APBD. Untuk keserasian antar triwulan dapat dilakukan dengan membandingkan realisasi penyerapan antar triwulan.

Debt Service Coverage Ratio (DSCR), dalam melaksanakan roda pemerintahan, tiap daerah diperbolehkan untuk melakukan pinjaman dari pihak luar, namun pemerintah harus memiliki rasio DSCR minimal 2,5. Rasio DSCR tersebut akan menggambarkan kemampuan dalam melakukan pembayaran pinjaman dari pihak ketiga tersebut. DSCR dihitung dengan melakukan perbandingan antara penjumlahan PAD, Bagian Daerah (BD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) dikurangi Belanja Wajib (BW) dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo.


Apabila nilai DSCR <>


Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio), untuk mengetahui komponen-komponen (Pendapatan, PAD, Belanja, Belanja Rutin dan sebagainya) mana yang perlu mendapatkan perhatian sebaiknya melihat terlebih dahulu pertumbuhan komponen-komponen tersebut. Selain ini ratio pertumbuhan ini akan menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Sebaiknya pertumbuhan ini dinyatakan dalam bentuk persentase. Sebagai contoh pada tahun PAD pada tahun A = 1.000.000, tahun A+1=1.100.000, dan tahun A+2=1.205.500, jika dilihat secara nominal maka PAD mengalami peningkatan sebesar 100.000 (1.100.000 – 1.000.000) dari tahun A ke Tahun A+1, tahun A+1 ke tahun A+2 sebesar 102.500 (1.204.500 – 1.100.000), namun jika dilihat dalam bentuk persentase maka pertumbuhan dari tahun A ke tahun A+1 sebesar 10% (100.000/1.000.000) dan pentumbuhan dari tahun A+1 ke tahun A+2 sebesar 9,5% (102.500/1.100.000). Jika nominal yang dijadikan acuan maka interpretasi yang muncul adalah pertumbuhan PAD mengalami peningkatan dari 100.000 ke 102.500 namun dalam bentuk persentase pertumbuhan tersebut pada dasarnya menurun.

SIKAP OPORTUNIS MANAJER

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

Terdapat beberapa faktor yang mendorong perilaku seorang manajer untuk melakukan rekayasa keuangan, jika dilihat secara individu manajer tentunya perilaku yang mendorong adalah adanya keinginan untuk kinerjanya dinilai lebih baik atau berprestasi dan jika dilihat manajer sebagai bagian suatu perusahaan maka manajer menginginkan perusahaan yang dikelolahnya terlihat baik.

Ketika perusahaan akan masuk ke bursa efek (perdagangan saham) maka faktor perilaku kedua yang lebih dominan ditunjukkan seorang manajer. Perusahaan yang baru akan masuk atau melakukan IPO (Initial Public Offering) mengalami ketidakpastian apakah saham yang diajukan diminati atau tidak. Untuk itulah maka manajer harus memperlihatkan kondisi perusahaan sedemikian rupa agar saham yang ditawarkan diminati oleh investor karena satu-satunya informasi yang dapat dibaca oleh calon investor adalah laporan keuangan, demikian pula jika pada posisi pasar sekunder agar tidak mendapat tekanan dari pemilik atau pemegang saham.

Perekayasaan keuangan yang umum dilakukan adalah dengan melakukan manajemen akrual, namun untuk perusahaan issuer (IPO) manajemen akrual yang digunakan adalah discretionary accruals. Cara ini akan menaikkan laba perusahaan dengan melakukan penggesaran laba masa yang akan datang ke masa sekarang dan penggeseran biaya sekarang ke masa yang akan datang.

Perekayasaan dengan akrual ini merupakan teknik yang sangat susah untuk dideteksi, dengan kondisi dimana manajer berharap perusahaannya dinilai baik (prospek), manajer memegang peranan dalam merekayasa keuangan serta adanya metode yang sudah dideteksi oleh pembaca laporan keuangan maka kondisi inilah yang mendorong sikap oportunis manejer. Namun dampak sikap tersebut akan terlihat pada tahun-tahun berikutnya (setelah penawaran), baik untuk akan mengalami penurunan laba karena pendapatan yang seharusnya untuk masa yang akan datang namun diakui sebagai pendapatan masa sekarang serta biaya yang seharusnya diakui pada masa sekarang namun digeser pada ke masa yang akan datang. Kinerja perusahaan yang issuer lebih besar penurunannya dibandingkan dengan non-issuer karena non-issuer tidak lagi menggunakan teknik akrual discretionary accruals.

Antisipasi pada konsekuensi logis merupakan komponen ini dalam mendesain pengandalian. Konsidi ini merupakan hal yang penting bagi seorang manajer keuangan yang terbiasa untuk membuat pertimbangan berdasarkan apakah suatu hasil itu adalah baik atau buruk. Laporan keuangan memberikan informasi untuk menentukan apakah hasil tersebut tepat maupun tidak. Konsekuensi logis inilah yang mendasari manajer bersikap oportunis, bahwa manajer ingin menampilkan suatu laporan keungan yang terlihat bagus dan prospek di mata calon investor.
Pengambilan keputusan telah disamakan dengan proses memikirkan mengelolah, dan memecahkan masalah. Oleh karena itu, terdapat beberapa definisi yang masing-masing digunakan untuk tujuan tertentu. Dalam organisasi pengambilan keputusan biasanya didefinisikan sebagai proses memilih diantara berbagai alternatif tindakan yang berdampak pada masa depan. Dari sekian alternatif yang mungkin dapat dilakukan oleh manajer, proses akrual dengan discretionary accruals yang dapat memperlihatkan laba pada laporan keuangan terlihat baik. Disisi lain calon investor hanya memiliki satu sumber informasi untuk melakukan penilaian terhadap perusahaan.

Untuk mengenali dan mengidentifikasi masalah atau peluang, para pengambil keputusan memerlukan informasi lingkungan, keuangan dan operasi. Informasi kondisi eksternal memberikan informasi adanya peluang-peluang pasar baru sekaligus memberikan informasi tantangan dalam memperoleh peluang tersebut. Informasi keuangan atau operasional dapat memperingatkan manajemen terhadap masalah yang memerlukan tindakan segera. Dengan kekuatan informasi laporan keuangan inilah seorang manajer berkesempatan untuk mengelabui calon investor karena kondisi lingkungan perusahaan merupakan kondisi yang jarang terekspos.

Adalah penting untuk diingat bahwa manusia bukanlah organisasi yang mengenali dan mendefinisikan masalah atau peluang serta tantangan dan mencari tindakan alternatif, manusialah yang memilih kriteria pengambilan keputusan, memilih alternatif yang optimal dan menerapkannya. Lingkungan organisasi di mana manusia digunakan bergantung pada jenis dari masalah pengambilan keputusan atau peluang serta tantangan yang dihadapai. Manusia merupakan makhluk rasional karena memiliki kapasitas untuk berpikir, memilih, dan belajar. Tetapi rasionalitas manusia sangatlah terbatas karena mereka hampir tidak pernah memperoleh informasi yang penuh dan hanya mampu memproses informasi yang tersedia secara berurutan. Manajer sebagai manusia yang akan mengambil keputusan dan memiliki lebih banyak informasi dibandingkan calon investor maka secara rasional jika seorang investor akan kalah dalam memahami informasi akan sebuah perusahaan.

Proses pengambilan keputusan lebih lanjut lagi dipengaruhi oleh tingkat pengalaman sebelum dari individu-individu yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Studi yang dilakukan oleh Bouwnam (1984) mengungkapkan sejumlah perbedaan yang menarik dalam strategi yang digunakan serta data spesifik yang dipilih oleh pakar dan pendatang baru ketika mengambil keputusan berdasarkan informasi akuntansi dan informasi keuangan lainnya. Tiga hal utama yang membedakan adalah (1) pengujian informasi, (2) integrasi pengamatan dan temuan serta (3) pertimbangan. Investor sebagai pendatang baru (dilihat dari informasi yang harus dipelajari) dan dengan sikap oportunis seorang manajer yang lebih pakar maka hasil pengujian informasi dari laporan keuangan serta kekurangan pengamatan dan temuan maka akan menjadi pertimbangan yang menganggap bahwa informasi laporan keuangan sudah merupakan informasi yang sudah cukup. Selain itu data akuntansi (laporan keuangan) dianggap pula sebagai stimulasi dalam pengenalan masalah melalui pelaporan deviasi kinerja aktual dari sasaran standar.

Sikap oportunis merupakan suatu modal bagi seorang manajer tetapi hendaknya mampu mempertimbangkan keadaan-keadaan setelah penawaran (IPO).
Jika penawaran telah selesai maka hendaknya manajer mampu mengambil langkah untuk mengantisipasi menurunnya kinerja perusahaan sebagai akibat manajemen akrual discretionary accruals.

Bagi calon investor hendaknya tidak hanya terfokus pada laporan keuangan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan karena calon investor juga memiliki oportunis untuk memutuskan membeli saham atau tidak.

KEBUTUHAN BERPARTISIPASI

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

PNP (Perceived Need for Participation) merupakan kebutuhan individu dalam berpartisipasi, pada penelitian kebutuhan berpartisipasi adalah berpartisipasi dalam penyusunan anggaran (standar), kebutuhan berpartisipasi tidak selalu signifikan dengan performa sebuah organisasi tetapi ada faktor lain yang mempengaruhinya.
DPA (Degree Participation Allowed) merupakan tingkat partisipasi yang diizinkan atau yang diberikan kepada individu, hal ini juga tidak terlalu signifikan dengan performa sebuah organisasi jika berdiri sendiri.
Kesuksesan dalam penyusunan anggaran (standar) sangat ditentukan oleh PNP dan DPA jika digabungkan secara bersama-sama yang pada akhirnya akan memperbaiki performa organisasi. DPC (Degree Participation Congruence) atau tingkat keselarasan partisipasi yang merupakan penggabungan antara PNP dan DPC akan berkorelasi dengan performa organisasi (dalam hal standar), DPC juga menggambarkan selisih antara PNP dan DPA, DPC yang baik terjadi ketika selisih antara PNP dan DPA mendekati angka 0. Ketika PNP lebih besar dari pada DPA maka individu akan kecewa dengan karena yang diinginkan (keinginan berpartisipasi lebih) tidak tercapai sehingga akan menghasilkan kesesuaian anggaran (standar) yang kurang maksimal. Demikian pula jika DPA lebih besar dari PNP akan berdampak pada terlalu terbebaninya individu dalam penyusunan atau akan terjadi kejenuhan dalam penyusunan sehingga kesesuaian anggaran (standar) juga tidak akan optimal.
Dalam teori partisipasi akan memberikan beberapa manfaat, antara lain:
  1. Meningkatkan rasa kesatuan kelompok, yang pada gilirannya cenderung untuk meningkatkan kerjasama antara anggota dalam penetapan tujuan.
  2. Menurunkan tekanan dan kegelisahan yang berkaitan dengan anggaran.
  3. Menurunkan ketidakadilan yang dipandang ada dalam alokasi sumber daya organisasi antara sub unit organisasi, serta reaksi negatif yang dihasilkan dari persepsi.

Seperti yang dikatakan oleh Michael Foran dan Don DeCoster, Jika seorang pekerja berpartisipasi dalam menetapkan standar kinerjanya sendiri, maka ia akan membuat komitmen yang tegas terhadap standar tersebut, dan oleh karena itu akan bekerja keras untuk mencapainya. Dalam kenyataan pimpinan kadang tidak terlalu memperhatikan hal tersebut, pemimpin kadang tidak mampu membaca tingkat keinginan seseorang (pekerja) dalam berpartisipasi sehingga kepercayaan yang diberikan terkadang kurang atau melebihi dari yang diharapkan. Kondisi lain juga terkadang pemimpin memberikan kepercayaan (DPA) kepada orang-orang yang lebih dekat dengan pimpinan tanpa mempertimbangkan apakah orang tersebut ingin berpartisipasi atau tidak, sehingga mengabaikan orang lain yang mungkin memiliki keinginan untuk berpartisipasi.

Hal yang menyebabkan seorang pimpinan sehingga tidak terlalu memberikan kesempatan untuk berpartisipasi lebih banyak dalam penyusunan anggaran adalah:

  1. Adanya rasa tidak percaya
  2. Resistensi
  3. Konflik internal
  4. Efek samping lainnya yang tidak diinginkan.

Sebaiknya pimpinan organisasi mampu membaca keinginan seseorang dalam proses penyusunan anggaran, namun tidak hanya sampai itu pimpinan juga harus memperhatikan sejauh mana karyawan ingin berpartisipasi. Dengan kedua hal tersebut maka keharmonisan anggaran dapat tercapai.

Untuk seseorang yang mengindikasikan tidak ingin berpartisipasi maka pimpinan tidak seharusnya membiarkan begitu saja tetapi pimpinan harus berusaha menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi karena dengan berpartisipasi akan memberikan dampak yang baik pada hasil kesesuaian anggaran.

PERBAIKAN KUALITAS PRODUK

Oleh: Muh. Iskandar Sabang

Bagaimanakah pendapat anda tentang produk berkualitas? Produk berkualitas pada mata konsumen merupakan produk terbaik dan mahal, namun pernakah dipikirkan bahwa produk berkualitas tersebut semestinya lebih murah dari pada produk yang tidak berkualitas. Mari kita simak kasus berikut.

“Sebuah perusahaan memproduksi televisi, dalam melakukan proses produksinya terkadang ada kesalahan produksi yang menyebabkan produk rusak atau lebih dikenal produk rusak dalam proses atau produk cacat dalam proses. Kesalahan produksi ini bisa disebabkan oleh SDM yang tidak berkualitas, mesin yang digunakan tidak lagi bekerja optimal, prosedur yang tidak tepat, produk yang tidak dirancang baik bentuk maupun teknik produksinya, dan lain-lain. Produk-produk tersebut diketahui rusak tidaknya tentunya setelah dilakukan investigasi atau pemeriksaan sebelum dikemas dan dilempar kepasaran, tindak lanjut terhadap produk rusak tersebut adalah melakukan perbaikan kembali selama produk tersebut masih bisa diperbaiki kemudian diperiksa lagi dan dikemas untuk dilempar ke pasar. Dalam proses pemeriksaan sebelum pengemasan bisa dipastikan bahwa semua produk yang tidak sempurna dapat diketahui sehingga bisa lolos kepasaran, belum lagi produk yang sudah dipastikan baik namun dalam perjalanan dari tempat produksi ke pasar mengalami kerusakan karena guncangan dan lain-lain sebagainya. Konsumen yang secara kebetulan membeli produk rusak tersebut tentunya tidak akan diam apalagi pada keadaan sekarang dimana konsumen sudah mulai pintar mengadu. Pengaduan konsumen tersebut bisa dipastikan akan mengeluarkan biaya, mungkin dengan melakukan penggatian sebahagian (spare part product) atau penggantian secara keseluruhan, itu merupakan kerugian yang secara langsung, disisi lain mungkin konsumen lainnya akan membatalkan niatnya memilih produk tersebut ketika ingin membeli televisi sehingga perusahaan akan kehilangan peluang yang dalam manajemen dikonvesri menjadi biaya yang lebih dikenal biaya kesempatan (opportunity cost)”.

Dalam menentukan harga jual dari produk televisi tersebut tentunya semua biaya-biaya yang terjadi di atas seperti biaya pemeriksaan kualitas, perbaikan, biaya layanan purna jual dan bahkan biaya kesempatan yang timbul juga diperhitungkan, secara otomatis akan berdampak terhadap tingginya harga jual. Semua biaya-biaya tersebut timbul karena perencanaan awal baik model produk yang kurang terencana, jenis bahan yang harus digunakan, cara atau proses pemrosesan yang kurang baik, SDM yang tidak memadai dan lain-lain sebagainya.

Dari semua biaya-biaya yang timbul tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Biaya Conformance, adalah biaya-biaya yang timbul sebelum keadaan kualitas suatu produk ditemukan. Biaya ini juga dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:

  2. Biaya Nonconformance, adalah biaya yang timbul setelah keadaan kualitas suatu produk ditemukan. Biaya ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:Biaya kegagalan internal, biaya ini adalah biaya timbul setelah melakukan proses penilaian dan ditemukan perbedaan terhadap standar yang diharapkan sehingga dilakukan perbaikan ulang.

Biaya Conformance juga dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:

  1. Biaya pencegahan, biaya ini adalah yang dikeluarkan dalam rangka melakukan persiapan produk seperti biaya riset dan desain, persiapan SDM yang memadai, pembuatan prosedur pengerjaan produk, pemilihan pemasok atas bahan yang dibutuhkan.

  2. Biaya penilaian, biaya ini adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka melakukan penilaian terhadap produk yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan standar yang diinginkan atau belum.

Biaya Nonconformance juga dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:

  1. Biaya kegagalan internal, biaya ini adalah biaya timbul setelah melakukan proses penilaian dan ditemukan perbedaan terhadap standar yang diharapkan sehingga dilakukan perbaikan ulang.

  2. Biaya kegagalan eksternal, biaya ini adalah biaya yang timbul setelah kualitas produk ditemukan oleh pelanggan seperti biaya garansi, penggantian ulang, biaya kesempatan dan lain-lain.

Dari biaya-biaya di atas semuanya memiliki keterkaitan, pencegahan yang kurang baik akan memungkinkan terjadinya biaya penilaian, biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan eksternal yang cenderung tinggi. Sementara biaya-biaya tersebut adalah biaya-biaya yang frekuensi terjadinya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pencegahan. Apabila biaya-biaya tersebut dialihkan ke pencegahan yang frekuensi terjadinya lebih kecil tentunya akan memperkecil kemungkinan terjadinya biaya-biaya lainnya yang frekuensi terjadinya lebih besar, dengan demikian biaya produksi bisa ditekan dan akan menekan pula harga produk.
Berikut ini adalah contoh perbandingan sebelum dan setelah perubahan komposisi biaya:


Kualitas produk yang baik bukan hanya sampai pada penekanan harga jual tetapi mampu meningkatkan laba serta akan menghasilkan return on investment lebih tinggi. Dengan perbaikan kualitas melalui perubahan komposisi biaya-biaya di atas maka akan berdampak pada:

  1. Tingkat retur produk menjadi lebih rendah, dengan tingkat return yang rendah akan mengurangi biaya garansi/purna jual dan biaya perbaikan sehingga akan meningkatkan laba.
  2. Penurunan biaya produksi seperti pengurangan terhadap biaya kegagalan internal seperti pada tabel di atas. Penurunan biaya produk tersebut tentunya akan berdampak pada peningkatan laba.
  3. Nilai yang dirasakan oleh konsumen akan lebih tinggi dengan produk yang berkualitas. Tingginya nilai yang dirasakan ini maka perusahaan memiliki peluang untuk melakukan peningkatan harga jual (peningkatan harga jual sifatnya opsional karena biaya produksi sudah rendah), selain itu pangsa pasar atas produk akan lebih luas. Peningkatan harga jual dan peningkatan pangsa pasar tentunya akan berdampak pada meningkatnya pendapatan dan pendapatan yang meningkat akan menghasilkan laba yang lebih besar.
  4. Dengan perencanaan yang baik maka akan mempersingkat waktu proses (mempercepat thruoghput time) karena menurunnya kegagalan internal sehingga proses pengiriman dapat dilakukan dengan cepat. Proses pengiriman yang lebih cepat merupakan salah satu hal yang diharapkan oleh konsumen sehingga akan berdampak pada terjadinya perluasan pangsa pasar. Perluasan pangsa pasar inilah yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan seperti pada point ke-3 di atas.

Praktikum Manajemen Keuangan

PRAKTEK MANEJEMEN KEUANGAN

Buku Praktikum ini di susun oleh tim pengajar manajemen dan keuangan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Ujung Pandang. Disusun dalam 2 buah buku yaitu Buku 1 berupa informasi perusahaan dan kasus-kasus perusahaan yang akan di selesaikan, buku 2 merupakan lembar kerja untuk penyelesaian kasus-kasus dalam buku 1. Bahan praktek ini terdiri dari 6 job yaitu: Manajemen Modal Kerja (Working Capital Management), Manajemen Kas dan Sekuritas (Cash and Securities Managemen), Manajemen Persediaan (Inventory Management), Manajemen Piutang (Account Receivable Management), Biaya Modal dan Struktur Modal (Cost of Capital and Capital Structure), Analisis Leverage (Leverage Analysis) dan Penganggaran Modal (Capital Budgeting).

Informasi lebih lanjut untuk memperoleh buku ini, dapat mengubungi Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan Jurusan Akuntanasi Politeknik Negeri Ujung Pandang melalui e-mail accounting_pnup@yahoo.com atau iskandarsabang@yahoo.com